Oleh : Agusti Anwar
Tangan bertemu tangan, saling menggenggam. Itulah bersalaman atau berjabat tangan, yang merupakan ekspresi ramah tamah yang paling umum di dunia.
Semua bangsa pasti mengerti maknanya. Walau pun budaya lokal dapat berlainan, namun saking mendunianya jabat tangan, maka semua orang pasti mengenalnya sebagai bahasa tubuh penyampaian salam.
Konon, bersalaman adalah pernyataan sikap damai; bahwa masing-masing hampa tangan dan tidak memegang atau menyembunyikan senjata. Artinya, bersalaman bertolak belakang dengan sikap bermusuhan.
Menurut Herbert Spencer yang malang melintang dalam Sosiologi, berjabatan tangan pertama kali bermula dalam budaya bangsa Arab yang bertemu di gurun pasir. Di Eropa kuno, juga Yunani, bersalaman kemudian juga menjadi simbol. Semua untuk menunjukkan sikap bersahabat.
Dalam praktek hingga kini, bersalaman merupakan bentuk interaksi yang positif. Orang bersalaman ketika baru bertemu, atau ketika berpisah; ketika mengucapkan selamat atau sepakat dan saling berjanji. Ketika kontrak ditandatangani, ketika pernikahan dilangsungkan, ijab dan kabul itu pun disimpulkan dengan tangan yang saling berjabatan.
Ketika permusuhan diakhiri, hati dibuka untuk memulai hubungan baru yang bersahabat, maka bersalamanlah. Ketika meminta maaf, bahkan meminta ampun, jabatan tangan pun merupakan salah satu penandanya.
Memang tidak semua bangsa akan saling bersalaman. Namun, bangsa kita adalah di antara yang paling sering melakukan itu. Sebagian dari kita bahkan terlalu rajin untuk bersalaman, hampir dalam setiap kesempatan. Yang lain, mungkin sedikit lebih jarang; hanya ketika dirasa perlu.
Namun yang lebih perlu adalah bahwa jabatan tangan itu tulus, bukan palsu.
Adakalanya, dalam bersalaman itu, lebih berwarna basa-basi. Kita bersalaman sekedar untuk bersalaman. Beberapa orang ketika sedang bersalaman, bahkan sama sekali tidak melihat orang yang disalaminya. Herannya, sengaja atau tidak, ketika bersalaman dengan orang, apalagi yang tidak dikenal, langsung terukur penting tidaknya kita dimata lawan bersalaman kita itu.
Dalam menyalami orang penting, tidak jarang ketika tengah bersalaman, hanya tangan yang bertaut. Mata, entah ke mana. Apalagi, mungkin, hati?
Yang paling menyakitkan, tentunya, apabila yang disalami justru bukan siapa-siapa, dan jabatan tangan Anda pun masih disambillalukan.
Lucunya, tidak jarang berjabatan yang paling terasa hangat adalah dengan politisi yang butuh suara, dengan penjual ketika Anda menjadi calon pelanggan yang potensil atau dengan diplomat yang menggenggam tangan Anda dengan erat. Kalau pun mereka mungkin bukan betul-betul tulus, lebih sekedar formalitas public relations atau pendekatan bisnis karena kebutuhan profesi, paling tidak mereka berusaha memperlihatkan antusiasme.
Bersalaman memang sering mampu mengukur temperatur hati seseorang. Orang yang tulus akan bersalaman dengan mata dan hati yang bersih. Bahkan, sekalipun itu politisi, pengusaha atau diplomat. Sedangkan mereka yang sekedar angkuh atau tinggi hati, kadangkala lebih pantas untuk tidak disalami.
Selasa, 10 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar